Kamis, 30 Juli 2020

Pertarung Terahir Penggagas Negara islam Sang Pahlawan Ki Bagoes Hadi Kusumo

 

            Hidup adalah seni gambar tanpa satupun penghapus” mungkin itulah kata yang tepat bagi laur sejarah Negara kita di bangun. Tidak ada satupun yang bisa merubah sejarah, bahakan sejarah hidup diri kita sendiri apalai sejarah sebuah negara. Beliau Ki Bagus Hadi Kusumo tertulis harum namanya sebagai tokoh dan pahlawan muhammadiayah, Negara,maupun dalam dunia islam. Namun kata terahir itu harus di ingat “ Ini Bukanlah akhir perjuang Muhammadiyah”.

            Pada semester 2 di mata kuliah Pancasila saya mendapatkan pengetahuan baru tentang beliau yang sangat kukuh memegang 7 kata hilang dari piagam Jakarta.

 

Ki Bagoes Hadi Kusumo

Pahlawan perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia ini dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta dengan nama R. Hidayat pada 11 Rabi’ul Akhir 1038 Hijriyah. Ia putra ketiga dari lima bersaudara Raden Haji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan agama Islam di Kraton Yogyakarta. Seperti umumnya keluarga santri, Ki Bagus mulai memperoleh pendidikan agama dari orang tuanya dan beberapa Kiai di Kauman. Setelah tamat dari ‘Sekolah Ongko Loro’ (tiga tahun tingkat sekolah dasar), Ki Bagus belajar di Pesantren Wonokromo, Yogyakarta. Di Pesantren ini ia banyak mengkaji kitab-kitab fiqh dan tasawuf.

Lahirnya Pancasila tidak lepas dari pergolakan dari tokoh-tokoh bangsa Indonesia salah satunya yaitu Ki Bagus Hadi Kusumo. Dan perlu diketahui, jalan menuju Pancasila itu melalui beberapa tahap, diantaranya ialah lahirnya Piagam Jakarta (Jakarta Charter) sebagai rumusan pertama dasar negara. Piagam Jakarta, dirumuskan pada tanggal 22 Juni 1945. Oleh Panitia Khusus atau Panitia Kecil yang beranggotakan 9 (Sembilan) orang, yang biasa disebut dengan Panitia Sembilan. Panitia Sembilan adalah Panitia Kecil dari Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

  

7 kata hilang

 

 

 

 

 

Pencoretan Piagam Jakarta berawal dari protes kalangan Kristen, yang berada di kawasan Indonesia Timur. Bahwa, Piagam Jakarta sebagai Rumusan UUD 1945 tidak mengikat umat beragama Kristen. Secara spesifiknya, tidak setuju dengan 7 (tujuh) kata yang berada pada naskah Piagam Jakarta, yang tulisannya: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

 

Padahal 7 kata tersebut bukanlah pemaksaan ataupun diskriminasi terhadap kaum Kristen maupun agama lain hanya saja Islam sebagai agama mayoritas bahkan perjuangan melawan penjahan pun mayoritas dari masyarakat muslim terutama dari golongan kyai dan santri.

 

Setelah pembacaan Proklamasi oleh Sukarno-Hatta. Dalam suasana genting, pada tanggal 17 Agustus 1945 di sore hari. Kalangan minoritas Kristen yang masih dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang, langsung menghubungi Hatta, memprotes terkait tujuh kata dalam Piagam Jakarta sebagai rumusan UUD 1945. Argumen yang dibawanya saat itu adalah “Diskriminasi Kaum Minoritas Kristen”. Jikalau Piagam Jakarta itu disahkan sebagai landasan Dasar Negara, maka kalangan Kristen akan berlepas diri dari wilayah Indonesia.

 

Mendengar argumentasi tersebut, Bung Hatta sebagai Wakil Ketua Panitia Sembilan langsung mengambil sikap. Dengan mengumpulkan beberapa pemimpin Islam yang bergabung dalam Panitia Sembilan. Yang dipanggil yaitu, Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Teuku Muhammad Hasan dan Kasman Singodimedjo. Tepat pada tanggal 18 Agustus 1945, lima orang ini berembuk berusaha untk memecahkan persoalan ini. Kelima tokoh ini sebenarnya tidak ingin melepas tujuh kata tersebut. Tetapi, pada akhirnya mereka berlapang dada dan bijaksana, tidak ingin melihat negara yang berumur baru berapa jam ini pecah di kemudian hari. Perlu diketahui perundingan lima tokoh tersebut kurang dari 15 menit, karena dalam situasi yang begitu kontroversi mencekam . Namun, Ki Bagus Hadikusumo yang ketika itu sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah sempat bersikeras tidak akan mencabut dan menghapus tujuh kata tersebut. Hatta, Wahid Hasyim, dan Teuku Muhammad Hasan tidak mampu membujuk Ki Bagus Hadikusumo untuk merelakan Tujuh Kata tersebut dihapuskan. Barulah, Kasman Singodimedjo berusaha keras membujuk dengan usahanya, diantarannya menggunakan bahasa Jawa yang halus.’

 

Dialog Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo

 

Kasman mengatakan di dalam lobinya sebagai berikut: “Kiai, kemarin Proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-undang Dasar sebagai dasar kita bernegara, dan masih harus ditetapkan siapa Presiden dan lain sebagainya untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia, teutama pemimpin-pemimpinya cek cok, lantas bagaimana?! Kiai, sekarang ini bangsa Indonesia kejepit di antara yang tongol-tongol dan tingil-tingil. Yang tongol-tongol ialah bala tentara Dai Neppon (Jepang) yang masih berada di Bumi Indonesia dengan persenjataan modern. Adapun yang tingil-tingil adalah sekutu yang termasuk di dalamnya Belanda. Rancanagan sekarang ini adalah rancangan Undang-undang Dasar darurat. Belum ada waktu untuk membikin yang sempurna dan memuaskan semua pihak, apalagi dalam kondisi kejepit! Kiai tidak kah bijaksana, jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapaina Indonesia merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil makmur, tenang tentram, diridhoi Allah.” Dengan diplomasi Kasman seperti demikian, barulah Ki Bagus Hadikusumo berangsur-angsur mau menerima usul penghapusan tujuh kata tersebut.

 

Tokoh-tokoh Ilsam lebih mementingkan Nasib dan Kesatuan Bangsa

Ini merupakan sejarah yang sangat penting. Tokoh-tokoh Islam yang bertoleransi bersedia menghapus tujuh kata tersebut, seperti Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimedjo merupakan tokoh yang punya jasa besar dalam mengintegrasikan antara keislaman dan kebangsaan.

Karena pada tanggal 18 Agustus 1945 ketika ada deadlock 7 kata dalam piagam Jakarta lalu terjadi negosiasi. Nah peran pak Kasman Singodimedjo, menjembatani dari Bung Karno dan Bung Hatta dengan Ki Bagus Hadikusumo. Dengan demikian maka dua tokoh ini mempunyai peran integrasi nasional antara keislaman dan kebangsaan.

Bung Hatta menilai bahwa, kesediaan empat tokoh pemimpin Islam tersebut untuk menyetujui menghilangkan kalimat ini sebagai tanda bahwa mereka benar-benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa seluruhnya

 

 Terimakasih Sudah Membaca

By : Rian Ananta

           

 

 

 

 

 

Sumber :

https://ibtimes.id/ki-bagus-hadikusumo-kasman-singodimedjo-dan-hilangnya-7-kata-sila-pertama

http://m.muhammadiyah.or.id/id/content-160-det-ki-bagus-hadikusuma.html

 

1 komentar:

Pertarung Terahir Penggagas Negara islam Sang Pahlawan Ki Bagoes Hadi Kusumo

              “ Hidup adalah seni gambar tanpa satupun penghapus” mungkin itulah kata yang tepat bagi laur sejarah Negara kita di ba...